Tak Berkategori

Hujan dan Simbok


Suara deritan ranjang tempat tidur miliknya menggema di seluruh pojok kamar. Suara deritan itu muncul akibat gesekan antar besi penyusunnya. Ranjang kuno yang didapatkannya dari tukang rosok Pak Maimun telah menemani tidurnya selama lebih dari seperlima abad. Meskpiun berulang kali memunculkan suara ketika dia bergerak untu pindah posisi, Soleh tetap mengatupkan kelopak matanya. Tidak ada tanda-tanda terganggu.
“Le, cepet tangi!” muncul suara khas emak-emak dari bilik ruangan lain. (Le, cepet bangun)
“Wes jam piro iki?” tambahnya lagi saat memandang jam dinding bertuliskan Indofood.(sudah jam berapa ini?)
Soleh nampaknya masih enggan beranjak dari ranjang kunonya. Kemudian sarung bermotif kotak-kotak biru ia tarik lagi untuk menyelimuti tubuhnya.
Dengan rambut tergelung ke belakang dan sapu di tangan kanannya, akhirnya simbok menuju ke kamar Soleh.
“Ndang tangi ogak kuwe, ora tak wenehi duit rokok nak ogak tangi-tangi!”(Bangun apa nggak kamu, kalau nggak, nggak saya kasih uang rokok)
“Mendung  mbok!” Tangan Soleh menyambar bantal yang berada di bawahnya dan kemudian menutupi telinganya dengan bantal.
“Kalau nggak jualan getuk mbi pecel, kowe sesuk mangan opo?” Bentak simbok yang kini sukses menjewer telinga putra bungsu kesayangannya: Soleh. (Kalau nggak jualan, kamu besuk makan apa?)
Soleh pun akhirnya bangun dan berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian menyambar kunci sepeda motor. Mengambil bakulan gethuk dan pecel milik simboknya untuk diangkut menuju alun-alun.
Setiap Minggu pagi, di daerahnya selalu ada kegiatan CFD (Car Free Day) di alun-alun. Itu tandanya kesempatan untuk meraup rejeki dari orang-orang yang sedang melakukan aktivitas CFD tersebut sangat terbuka lebar.
Sesampai di tempat jualan, simbok langsung menggelar dagangannya di tempat favoritnya: emperan dealer motor Honda. Menurut hematnya, tempat itu sangat strategis untuk menggaet pengunjung mencicipi gethuk dan pecel miliknya.
Sepuluh menit setelah menggelar dagangannya, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Dengan susah payah simbok menutupi dagangannya dengan plastik. Lima belas, tiga puluh, enam puluh menit kemudian suasana tetap sama -hujan turun semakin deras.
“Sialan, ini hujan nggak berhenti-berhenti.” Umpat Soleh yang kini sudah berada di rumah. Berhubung waktu sudah menunjukkan pukul 10.00, dia kembali menuju ke alun-alun –menjemput simbok. Betapa terkejutnya dia, melihat dagangan milik ibunnya masih utuh dan kini dalam kondisi tertutup plastik.
“Le, anter simbok ke Panti ya” Ucap simbok ketika sudah berada di sepeda motor.
“Ngapain?”
“Ngasih rejekinya anak-anak.”
Setelah sampai ke Panti Asuhan Sayang Anak, simbok langsung menurunkan dagangannya. Membuat pincukan dari daun pisang,yang kemudian diisi pecel atau gethuk untuk dibagikan ke anak-anak Panti. Anak-anak Panti pun bahagia mendapat sarapan gratis pagi ini.
“Punya simbok berhati malaikat, tapi anaknya gagal jadi anak Sholeh.” Batin Soleh yang kini duduk di pinggir taman, mengamati gerak-gerik simbok yang dengan senang hati dan cekatan membuatkan getuk dan pecel untuk mereka.  Asap rokok pun semakin terkebul dari mulut dan hidungnya. 
***
Sebenarnya ceita ini mau mengadopsi gaya kepenulisan Puthut EA yang mana selalu mengangkat tentang nilai-nilai kontruksi sosial di masyarakat. Punten kalau hasilnya malah cuma kayak gini heuheu

3 tanggapan untuk “Hujan dan Simbok”

Tinggalkan Balasan ke April Cahaya Batalkan balasan